Kau pun berhak bahagia, teman. (Tribute to Van Gogh. Fanfiksi Doctor Who Season 5 Episode 10)

TARDIS mendarat dengan sukses didepan Musee d'Orsay, Paris. The Doctor dan Amy keluar terlebih dahulu dari dalam TARDIS sedangkan Vincent masih ragu melangkahkan kakinya. Amy meraih tangan Vincent dan berkata, "Keluarlah, kami ingin menunjukkan suatu tempat yang menakjubkan kepadamu,"
              Vincent pun mengikuti langkah Amy dan The Doctor dari belakang. Dia melihat sekelilingnya dengan takjub. Orang-orang lalu lalang dengan benda kecil dan berbicara kepada benda itu. Ini tempat yang gila, begitu pikir Vincent. Didepannya, ia melihat bangunan megah dan ia tahu bahwa bangunan ini adalah museum.
"Kita berada di masa depan, Vincent. Di tahun 2010 dan ini adalah Musee d'Orsay, museum yang banyak memajang karya seni dari seniman hebat disini. Apalagi lukisan. Banyak pelukis hebat yang karyanya dipajang di tempat ini. Kepalamu pasti meledak karena senang melihat lukisan-lukisan itu!" ujar The Doctor pada Vincent.
"Benarkah? Ayo bawa aku masuk!" Vincent melonjak kegirangan.
Mereka lalu bergegas masuk kedalam museum. Disana, Vincent kagum dengan karya seni terlebih lukisan yang dipajang disana. Beberapa lukisan ia kenali, sangat ia kenali. Ia tak menyadari bahwa The Doctor dan Amy membawanya ke bagian museum dimana karya-karyanya dipajang. Vincent nampak bingung, darimana museum ini mendapatkan lukisannya. Apa mereka mencurinya? Tidak mungkin. Ia sedang berjuang untuk menjual lukisannya. Satu lukisan saja sangat sulit untuk terjual. Bagaimana mungkin museum sebesar ini mau memajang lukisan-lukisannya yang tidak laku itu?
            Lalu, tatapannya terhenti di salah satu lukisan, lukisan potret dirinya sendiri, yang terpajang di salah satu sudut museum itu. Ia lamat-lamat mendengar seorang anak kecil berucap pada ibunya, "Ibu, bila aku besar nanti, aku ingin menjadi pelukis hebat seperti Van Gogh. Aku ingin melukis sebaik dia,"
"Tentu saja, kau pasti bisa menjadi seperti Van Gogh. Kau hanya perlu terus berlatih agar bisa sehebat dia," sahut sang ibu,
Ada perasaan aneh yang bergejolak dalam hati Vincent setelah mendengar percakapan ibu dan anak itu. Tiba-tiba rasa putus asa yang ia alami mendadak berubah menjadi rasa bangga. Matanya berkaca-kaca.
"Kau baik-baik saja, Vincent?' tanya Amy tiba-tiba.
"Ya, tentu saja." jawabnya sambil menahan air matanya.
Di lain sisi, The Doctor mengajak pemandu di Musee d'Orsey mengobrol tentang Vincent Van Gogh. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Vincent mendengarkan bersama Amy.
"Kau harus mendengarkan tentang kehebatanmu sendiri, Vincent." ucap Amy.
Vincent diam saja.
"Tuan, aku sangat mengidolakan Vincent Van Gogh. Hanya saja, aku tidak tahu banyak soal dia. Menurutmu, seniman seperti apa dia?" tanya The Doctor pada pemandu itu.
"Well, aku juga mengidolakan Van Gogh sama sepertimu, Tuan. Aku sangat memujanya. Sebagai orang yang paham akan seni tingkat tinggi, Van Gogh bagiku adalah seorang dewa, Dia tidak hanya seniman hebat yang sangat terkenal. Tapi dia adalah salah satu pria terhebat yang pernah ada. Lihatlah lukisan-lukisan ini, bisa kah kau percaya mereka lahir dari kesedihan seorang pria yang malang? Van Gogh, mampu mengubah rasa sakit, kemalangannya, dan keputusasaannya menjadi karya seni yang begitu indah. Itulah definisi dari sebuah mahakarya, kau tidak bisa melihat keburukan dari karya itu."
"Baiklah aku mengerti. Aku juga setuju,"
"Ya, dia adalah seniman yang hebat. Kalo saja aku bisa berbicara dengan Van Gogh secara langsung, aku akan mengatakan padanya, "Kau pun berhak bahagia, teman". Itu saja, aku rasa itu dapat membuatnya terhindar dari rasa malang yang menyiksanya,"
Vincent yang mendengar hal itu tak kuasa menahan air matanya. Dia sesenggukan. Ia tak menyangka di masa depan dia begitu disanjung, dihormati, dan seorang anak kecil polos ingin menjadi seperti dirinya. Rasa malang dan sakitnya terasa begitu kerdil setelah melihat karya-karyanya dikagumi banyak orang. Ia mendengar banyak pujian atas karya-karyanya didalam museum ini. Bahkan dia sempat mendengar beberapa orang rela jauh-jauh datang dari belahan dunia yang lain ke museum ini demi melihat lukisannya. Vincent sangat bahagia....dan bangga.  Airmata bahagianya tumpah tak bisa dihentikan. Ia lalu bergegas memeluk pemandu itu, memeluk sangat erat.
"Terima kasih, teman. Tentu, aku akan bahagia. Terima kasih," ucap Vincent.
Pemandu itu pun kaget bukan kepalang. Orang yang memeluknya mirip sekali dengan pelukis idolanya, pelukis yang baru saja ia bicarakan. Tapi tanpa sempat berucap, The Doctor dan Amy sudahmengajak Vincent pergi dari Musee d'Orsay, tentu saja keadaan akan kacau bila pemandu itu tau bahwa yang memeluknya adalah Vincent Van Gogh. Dan mereka pun kembali ke masa lalu dimana Vincent hidup.


Auvers-sur-Oise, 27 Juli 1890
Setelah perjalanannya dengan The Doctor dan Amy, Vincent tetap saja merasa kosong. Hatinya masih hampa. Dia sudah berusaha bahagia, namun dia tak menemukan apa yang membuatnya bahagia. Dia tahu di masa depan dia adalah pelukis yang disegani, dihormati, tapi hal itu bukan yang ia cari. Dia yakin, dia tidak akan hidup selama itu untuk melihat karyanya dikagumi banyak orang. Ia tidak mampu menjadi bahagia selama itu. Batinnya sudah lelah.Vincent rasa sudah cukup. Ia harus mengakhiri penderitaannya. Dengan caranya sendiri.

Ia menatap lukisannya yang ia beri judul Vas Dengan 12 Bunga Matahari  yang ia buat sesaat setelah bertemu dengan Amy, gadis berambut merah yang cantik itu. Vincent masih bisa melihat rona wajah Amy dan senyumannya yang menggetarkan sanubarinya. Ini adalah patah hati yang teramat sangat. Vincent tertunduk dan menangis. Cukup lama ia merengek, meraung, dan memanggil Amy. Tapi kemudian ia berhenti. Ditatapnya senapan yang ia beli beberapa waktu lalu. Ia bergegas menuju ke ladang gandum terdekat. Tekadnya sudah bulat. Ia ingin menghentikan penderitaannya dan cintanya pada Amy.

Dihadapkannya senapan itu ke dadanya. Ia memejamkan matanya. Ia bersiap menarik pelatuk senapan itu.

"Terima kasih The doctor, terima kasih Amy,"

Ia menembak dadanya sendiri dengan senapan itu.


NB : Van Gogh menurut sejarah meningal pada 29 Juli 1890. Dia sempat bertahan selama 2 hari dari luka yang disebabkan tembakan itu dan meninggal di kamarnya, di sebuah penginapan di Auvers-sur-Oise.

Comments

Popular posts from this blog

Just asking about skateboarder w/ ato:D

Sung Dong-il, Sang Ayah Dengan Anak Perempuan-Perempuannya.

Prison Playbook : Mengelola Krisis di Balik Jeruji