Kopi Pertama

Kopi pertama pagi ini, aku habiskan  pelan-pelan. Pahit dan terasa sedikit manis, menurutku.

Kopi pertama pagi ini, aku buat dan kuminum sendiri. Namun tak seenak buatanmu.

Aku tahu, sejak kepergianmu semua kopi didunia rasanya tak kan seenak buatanmu, aku selalu merindukan hal itu. Hari ini, kubuka pagi dengan membuat kopi dan membaca koran. Koran sudah kubuca habis semua beritanya, namun kopi masih tersisa dicangkirku. Bukan karena apa, hanya karena memang tak seenak buatanmu. Kuhabiskan pelan-pelan kopi itu sambil mencoba menangkap sedikit bayanganmu di ruang makan ini. Kamu selalu duduk disampingku, kita membicarakan banyak hal, merencanakan apa yang kita lakukan hari ini, atau hanya sekedar berdiskusi kecil tentang pertandingan AC Milan minggu ini.
   
       Aku merindukan hari-hariku bersamamu. merindukan momen setiap pagi yang indah bersamamu. Berapa tahun kita tinggal bersama? 3 tahun yah? Yah....selama itu pula kurasakan hari-hariku selalu penuh warna. Senyummu selalu membuatku bersemangat menjalani tiap hari yang terjadi padaku. Senyummu yang tak kalah indah dengan model iklan pasta gigi. Ya Tuhan, sekarang pun aku masih bisa melihatmu tersenyum disini.

Kamu pernah bertanya pdaku di suatu pagi, "Kenapa kopi yang pahit selalu menjadi pilihan favorit untuk mengawali hari?"
Kujawab, "Tidak tahu,"

Kamu tersenyum kecil memandangku dalam. "Karena kopi yang pahit akan mengingatkan kita pada pahitnya hidup, mengingatkan kita untuk tidak patah arang berusaha,"

Aku memandangmu takjub, lalu bertanya padamu, "Mengapa begitu?"

Jawabmu lagi, "Karena didalam alam bawah sadar manusia, manusia sebenarnya memilih sesuatu yang dirasakan lidahnya pahit untuk mengingtkan mereka bahwa hidup juga begitu."

Aku merenungkan kalimatmu.Kurasa benar juga. Namun, ketahuilah bahwa kopi yang kau hidangkan setiap pagi untukku rasanya selalu manis. Dan, itu juga mengingatkanku pada manisnya hidup bersamamu. Namun, setelah kematianmu yang tiba-tiba, kopi pertamaku tak pernah lagi terasa manis. Padahal sudah kutambahkan beberapa sendok gula. Aku tahu, ini karena aku juga merindukanmu.

    Mereka selalu berkata padaku, bahwa ini tak lebih dari takdir. Tapi bagiku, kepergianmu sesuatu yang tidak adil bagiku. Aku membutuhkan setiap detik nafas hidupku. Bagaimana bisa mereka berkata ini tak lebih dari takdir? Aku tahu aku harus melanjutkan hidup. Karena memang harus begitu. Aku tak lantas dengan bodoh menyusulmu ke akhirat walau aku ingin. Tapi nalarku masih berjalan dengan baik, bukan saatnya aku mati saat ini. Namun apalah arti hidup, apalah arti usahaku untuk bertahan bila tiada dirimu?

    Kopi pertama pagi hari ini kuhabiskan pelan-pelan. sayup-sayup kudengar suaramu berbisik padaku dan kutersentak. Kudengar kau berbisik, "Aku mencintaimu,"

Sayang, aku pun begitu.

  Kopi pertama pagi ini rasanya pahit, sepahit rasa rinduku padamu. Aku hanya bisa menggapaimu lewat puluhan foto yang tersimpan dirumah ini. Tiada lagi sosok nyata yang bisa kupeluk dan kucium.

  Kopi pertama pagi ini, dan pagi-pagi sebelumnya akan selalu menginngatkanku padamu. Mengingatkan cara kita mengawali hari.

Kopi pertama, tidak kaulah yang pertama. Dan tentu saja yang terkahir. Sayangku, selamat pagi.



Comments

Popular posts from this blog

Just asking about skateboarder w/ ato:D

Sung Dong-il, Sang Ayah Dengan Anak Perempuan-Perempuannya.

Prison Playbook : Mengelola Krisis di Balik Jeruji