Dumbledore who was dumb

Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore mungkin adalah guru dengan sejuta hal yang bisa dijadikan teladan. Pintar, berkarisma, sakti mandraguna pula. Albus adalah guru yang setiap muridnya ingin menjadi sepertinya. Albus juga dikenal sangat mengayomi murid-muridnya, termasuk Tom Riddle, murid yang agak kurang ia sukai. Hampir semua murid dan mantan murid Hogwarts melihat Albus sebagai guru dan kepala sekolah yang sempurna, begitupula rekan kerjanya. Tapi setelah kematiannya, rahasia-rahasia kelamnya di masa lampau mulai terkuak. Keluarganya yang tidak sempurna, kematian adiknya yang tidak wajar, sampai hubungan pertemanannya dengan Gellert Grindelwald yang hampir membuatnya jatuh dalam kegelapan.

Albus dulu adalah seorang penyihir muda dengan kecermalangan yang luar biasa. Dia juga mempunyai ambisi yang besar. Wajar, penyihir muda dengan kemampuan sepertinya pasti mempunyai ambisi yang besar pula. Namun, nasib pula yang akan menentukan apakah ambisi itu bisa diwujudkan arau tidak. Tragedi demi tragedi menimpa keluarganya sehingga Albus mengubur ambisinya dalam-dalam. Kematian ibunya yang diakibatkan oleh ketidakmampuan adiknya, Ariana, mengontrol kekuatan sihirnya, membuat Albus harus menjadi kepala keluarga dan pelindung bagi kedua adiknya, khususnya Ariana. Hal ini membuat Albus merasa talentanya berakhir dengan sia-sia. But he had no choice. Sampai akhirnya seorang penyihir muda yang sama sepertinya, ambisius dan memiliki talenta yang besar, datang ke Godric's Hollow. Penyihir muda itu bernama Gellert Grindelwald yang dikeluarkan dari sekolahnya, Durmstang Institute karena obsesinya terhadap Sihir Hitam berlebihan dan membahayakan.

"So that, when my mother died, and I was left the responsibility of a damaged sister and a wayward brother, I returned to my village in anger and bitterness. Trapped and wasted, I thought! And then, of course, he came."



 Gellert tampil sebagai sosok teman yang sempurna dan setara bagi Albus. Pertemanan mereka pun dilandasi ambisi untuk menjadi penyihir terhebat dan dapat menguasai siapa saja, termasuk Muggle. Ambisi yang sudah dikubur Albus dalam-dalam mencuat lagi. Albus merasa Gellert adalah satu-satunya harapannya untuk bisa memenuhi ambisinya. Gellert pun semakin lama semakin mengkorupsi jiwa Albus dengan semboyan "For The Greater Good". Dalam semboyan itu tersimpan satu tujuan yang membuat Albus mengingat kembali tragedi yang menimpa keluarganya, yaitu saat adiknya Ariana di-bully oleh para Muggle yang melihatnya berlatih sihir. Albus sangat membenci Muggle pada waktu itu. Gara-gara tragedi itu keluarganya terus menerus mendapat kesialan. Kemarahan Albus terhadap Muggle kembali tersulut. Semboyan yang sebenarnya jahat itu menjadi pembenaran Albus untuk "membalas dendam" pada Muggle. Ibaratnya Gellert menyiramkan bensin pada luka hati Albus dan ia pula yang menyulut api kemarahan pada Albus. 2 penyihir muda dengan talenta dan ambisi yang besar, siapa yang bisa menghentikan?

Namun, Abeforth, adiknya yang lain lah yang sebenarnya menyelamatkan kakaknya itu dari kebodohan dan kebengisan yang dibalut oleh semboyan "For The Greater Good". Abe yang bertolak belakang dengan Albus berani mengkonfrontasi kakaknya bahwa sebenarnya kakaknya mempunyai ambisi yang kotor dan tentu saja, karena ambisinya yang kotor utulah Albus sempat berpikir untuk meninggalkan kedua adiknya. Albus akhirnya tersadar bahwa dia bodoh karena memilih kawan yang salah. Bodoh karena dengan mudahnya dia mempercayai ideologi yang Gellert bawa. Bodoh karena dengan mudahnya dia ingin meninggalkan keluarganya. It was Abe who saved him, but ironically, it was also Abe who hated him the most. "Pertobatan" Albus harus dibayar dengan 3 ways duel antara dia, Abe, dan Gellert dengan hasil kematian Ariana. Rasa bersalah yang mendalam dan sikap Abe yang terus menyalahkannya menjadi harga lain yang harus Albus bayar. Namun, kehilangan Ariana pulalah yang mengembalikan kewarasan Albus dan nilai-nilai kebaikan yang ada pada dirinya, seperti yang pernah diucapkan oleh Ephias Doge, teman lamanya saat menjadi siswa di Hogwarts,

"...... I believe that his early losses endowed him with great humanity and sympathy."

Dalam fase kehidupan selanjutnya, Albus kembali ke Hogwarts bukan hanya untuk mengabdi sebagai pengajar, namun ia kembali untuk mencari perlindungan dari godaan akan kekuasaan dan ambisi kotornya semasa muda.

 "I had proven, as a very young man, that power was my weakness and temptation. I was safer at Hogwarts. I think I was a good teacher."

And he was a good teacher.

Dari kalimat diatas juga tersirat bahwa ia mengakui kebodohannya di masa muda. Itu membkutikan bahwa kerendahan diri adalah kekuatannya yang lain. He gave up his ambition, so he won't be tempted by power. It wasn't easy. Kita bisa lihat dari diri Tom Marvolo Riddle yang oleh kekuatan, ia menjadi tergiur dan gelap mata namun dapat dikalahkan oleh kekuatan cinta yang tidak pernah ia sadari dan remehkan.

It's okay to be young and dumb. Seperti lirik lagu Father and Son oleh Cat Stevens.

"You're still young, that's your fault, there's so much you have to know," 

Masa muda adalah masa dimana kita membuat kesalahan, namun Albus Dumbledore membuktikan bahwa menjadi bodoh dan membuat kesalahan di masa muda, membuat kita mengerti nilai-nilai berharga dalam hidup.

Ada 2 pilihan, untuk saya dan kamu yang masih di usia muda, ketika melakukan kesalahan dan melakukan tindakan bodoh

Menjadi Albus Dumbledore, yang mengakui kesalahan dan kebodohannya namun mendapat pelajaran berharga yang bermanfaat baginya dia di masa datang. Atau,

Menjadi Tom Marvolo Riddle, yang bangga akan kesalahan dan kebodohannya, namun pada akhirnya ia mendapat kesia-siaan.

Your choice. 

Comments

Popular posts from this blog

Just asking about skateboarder w/ ato:D

Sung Dong-il, Sang Ayah Dengan Anak Perempuan-Perempuannya.

Prison Playbook : Mengelola Krisis di Balik Jeruji